Kamis, 10 Maret 2011

Pembenihan dan Perbaikan Genetika Ikan Lele dengan Metode Silang Balik Menjadi Lele Sangkuriang

Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air Tawar yang sudah dibudidayakan secara luas oleh masyarakat terutama di Pulau Jawa. Budidaya lele berkembang pesat dikarenakan dapat dibudidayakan di lahan dan sumber air yang terbatas dengan padat tebar tinggi, teknologi budidaya relatif mudah dikuasai oleh masyarakat, pemasarannya relatif mudah dan modal usaha yang dibutuhkan relatif rendah.

Pengembangan usaha budidaya ikan lele semakin meningkat setelah masuknya jenis ikan lele dumbo ke Indonesia pada tahun 1985. Keunggulan lele dumbo dibanding lele lokal antara lain tumbuh lebih cepat, jumlah telur lebih banyak dan lebih tahan terhadap penyakit. Namun demikian perkembangan budidaya yang pesat tanpa didukung pengelolaan induk yang baik menyebabkan lele dumbo mengalami penurunan kualitas. Hal ini karena adanya perkawinan sekerabat (inbreeding), seleksi induk yang salah atas penggunaan induk yang berkualitas rendah.
Sebagai upaya perbaikan mutu ikan lele dumbo, Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi telah berhasil melakukan rekayasa genetik untuk menghasilkan lele dumbo strain baru yang diberi nama lele “Sangkuriang”.
Seperti halnya sifat biologi lele dumbo terdahulu, lele Sangkuriang tergolong omnivora. Di alam ataupun lingkungan budidaya, lele sangkuriang dapat memanfaatkan plankton, cacing, insekta, udang-udang kecil dan mollusca sebagai makanannya. Keunggulan dari lele sangkuriang ini diantaranya dapat dipijahkan sepanjang tahun, fekunditas telur yang tinggi, dapat hidup pada kondisi air yang marjinal dan efisiensi terhadap pakan yang tinggi.
Klasifikasi Lele SangkuriangLele sangkuriang merupakan hasil perbaikan genetika lele dumbo melalui silang balik (backcross). Sehingga klasifikasinya sama dengan lele dumbo yakni:
Phyllum: Chordata, Kelas: Pisces, Subkelas : Teleostei, Ordo: Ostariophysi, Subordo: Siluroidea, Famili: Clariidae, Genus: Clarias, Spesies: Clarias sp (Lukito, 2002).
Proses Perbaikan Genetik
Lele Sangkuriang merupakan hasil perbaikan genetik melalui cara silang balik (back cross) antara induk betina generasi kedua (F2) dengan induk jantan generasi keenam (F6). Kemudian menghasilkan jantan dan betina F2-6. Jantan F2-6 selanjutnya dikawinkan dengan betina generasi kedua (F2) sehingga menghasilkan lele sangkuriang. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1. Induk betina F2 merupakan koleksi yang ada di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi yang berasal dari keturunan kedua lele dumbo yang diintroduksi dari Afrika ke Indonesia tahun 1985. Sedangkan induk jantan F6 merupakan sediaan induk yang ada di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi (Anonimus, 2007).
Meskipun induk awal lele sangkuriang berasal dari ikan lele dumbo, antara keduanya tetap memiliki perbedaan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Ciri-ciri Morfologi
Menurut Anonimus (2005) secara umum morfologi ikan lele sangkuriang tidak memiliki banyak perbedaan dengan lele dumbo yang selama ini banyak dibudidayakan. Hal tersebut dikarenakan lele sangkuriang sendiri merupakan hasil silang dari induk lele dumbo. Tubuh ikan lele sangkuriang mempunyai bentuk tubuh memanjang, berkulit licin, berlendir, dan tidak bersisik. Bentuk kepala menggepeng (depress), dengan mulut yang relatif lebar, mempunyai empat pasang sungut. Lele Sangkuriang memiliki tiga sirip tunggal, yakni sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur. Sementara itu, sirip yang yang berpasangan ada dua yakni sirip dada dan sirip perut. Pada sirip dada (pina thoracalis) dijumpai sepasang patil atau duri keras yang dapat digunakan untuk mempertahankan diri dan kadang-kadang dapat dipakai untuk berjalan dipermukaan tanah atau pematang. Pada bagian atas ruangan rongga insang terdapat alat pernapasan tambahan (organ arborescent), bentuknya seperti batang pohon yang penuh dengan kapiler-kapiler darah.
Habitat
Lele sangkuriang dapat hidup di lingkungan yang kualitas airnya sangat jelek. Kualitas air yang baik untuk pertumbuhan yaitu kandungan O2 6 ppm, CO2 kurang dari 12 ppm, suhu (24 – 26) o C, pH (6 – 7), NH3 kurang dari 1 ppm dan daya tembus matahari ke dalam air maksimum 30 cm (Lukito, 2002).
Tingkah Laku
Ikan lele dikenal aktif pada malam hari (nokturnal). Pada siang hari, ikan lele lebih suka berdiam didalam lubang atau tempat yang tenang dan aliran air tidak terlalu deras. Ikan lele mempunyai kebiasaan mengaduk-aduk lumpur dasar untuk mencari binatang-binatang kecil (bentos) yang terletak di dasar perairan (Simanjutak, 1989 ).
TEKNIK PEMBENIHAN
Pemeliharaan IndukFaktor penting dalam pembenihan ikan lele sangkuriang yaitu kualitas induk yang akan dipijahkan. Kualitas induk yang baik dapat dilihat dari postur tubuh yang proporsional, tidak ada cacat dan luka pada tubuh ikan, serta gerakan ikan yang lincah. Induk yang dipijahkan pada waktu melaksanakan kegiatan PKL berasal dari kolam pemeliharaan induk di Sub Unit Kolam Air Deras (SUKAD) Cisaat, BBPBAT Sukabumi.
Induk yang dipelihara berumur antara (1 – 2,5) tahun dengan bobot (0,75–2) kg dan kepadatan 5 ekor/m3. Induk jantan dan betina dipelihara secara terpisah hal ini bertujuan untuk memudahkan dalam penyeleksian. Kolam yang digunakan berupa kolam beton terbuka berbentuk persegi panjang yang berukuran 10 m x 2 m x 1,5 m dan kolam beton yang dilengkapi dengan penutup berupa jaring kawat, kolam tersebut berukuran 5 m x 2 m x 1,5 m. Menurut Prihartono dkk (2000), dalam pembenihan ikan lele sangkuriang, induk merupakan sarana produksi paling penting. Oleh karena itu, agar hasil pembenihan memuaskan, induk yang digunakan harus unggul. Untuk mendapatkan induk yang unggul, perlu dilakukan pemeliharaan induk secara khusus. Selama pemeliharaan padat tebar induk perlu diperhatikan karena akan berpengaruh pada pertumbuhan dan tingkat stress ikan. Induk ikan lele sangkuriang dipelihara dalam kolam atau bak berukuran (3×4) m2 dengan padat tebar 5 kg/m2.
Pakan yang diberikan selama pemeliharaan adalah pakan apung komersil merk Hi-Pro-Vite 781 dengan kandungan protein 30%-33% yang bertujuan untuk mempercepat pematangan gonad. Pemberian pakan dilakukan dengan frekuensi 2 kali sehari yaitu pada pagi hari pukul 07.00 WIB dan sore hari pukul 16.00 WIB, sebanyak 3%-5% dari bobot total dengan kandungn gizi: Protein 33%, Lemak 5%, Serat 6%, Abu 8% dan Kadar air 13%. Upaya untuk memperoleh induk matang telur menurut Prihartono dkk (2000), adalah dengan memberikan pakan komersil yang memiliki kadar protein diatas 20%. Pakan yang diberikan sebanyak 4% dari total bobot tubuh ikan setiap hari pada pagi dan sore hari. Bila sudah matang gonad, induk dapat diseleksi.
Pemijahan
Umur induk betina lele sangkuriang siap dipijahkan berumur > 1 tahun, massa (0,7 – 1) kg dengan panjang standar (25 – 30) cm, sedangkan induk jantan antara lain yaitu berumur > 1 tahun, massa (0,5 – 0,75) kg, dengan panjang standar (30 – 35) cm. Induk betina yang sudah matang gonad, secara fisik ditandai dengan perut yang membesar dan lembek, tonjolan alat kelamin membulat dengan warna merah keungu-unguan dan tampak membesar, bila dilihat secara kasat mata warna telur terlihat hijau tua bening atau coklat kehijau-hijauan, tulang kepala agak meruncing, gerakannya lamban. Sedangkan induk jantan ditandai dengan warna tubuh yang lebih mencolok dari betina yaitu terlihat kemerah-merahan pada bagian sirip punggung (dorsal), dengan bentuk genital yang meruncing dan memanjang melebihi ujung sirip anal yang letaknya berdekatan dengan anus, tulang kepala lebih mendatar (pipih) dibanding induk betina, perut tetap ramping dan gerakannya yang lincah. Jika diurut secara perlahan pada bagian kelaminnya, akan mengeluarkan cairan putih susu yang kental, cairan itulah yang dinamakan sperma.
Menurut Suyanto (1999), lele sangkuriang mulai dapat dijadikan induk pada umur (8 – 9) bulan dengan massa minimal 500 gram. Telur akan menetas dalam tempo 24 jam setelah memijah dengan kemampuan memijah sepanjang tahun tanpa mengenal musim. Menurut Prihartono, dkk (2000), tanda-tanda induk jantan yang telah siap memijah diantaranya alat kelamin tampak jelas (meruncing), perutnya tampak ramping, jika perut diurut akan keluar spermanya, tulang kepala agak mendatar dibanding dengan betinanya, jika warna dasar badannya hitam (gelap), warna itu menjadi lebih gelap lagi dari biasanya. Sedangkan untuk induk betina alat kelaminnya bentuknya bulat dan kemerahan, lubangnya agak membesar, tulang kepala agak cembung, gerakannya lamban, warna badannya lebih cerah dari biasanya.
Metode pemijahan yang digunakan di BBPBAT Sukabumi yaitu metode pemijahan secara buatan (Induced Breeding). Pemijahan buatan menggunakan induk jantan dan betina dengan perbandingan 1 : 3 (1 induk jantan, 3 induk betina). Pemijahan buatan dilakukan dengan penyuntikan hormon perangsang (ovaprim) yang bertujuan untuk mempercepat proses ovulasi pada induk betina. Dosis hormon ovaprim yang digunakan adalah 0,2 ml/kg induk ikan yang diencerkan dengan menambahkan larutan Sodium Chloride 0,9% untuk seluruh jumlah induk ikan. Metode pemijahan dengan cara induce breeding menurut Effendi (2004), bila menggunakan ovaprim dosisnya 0,3 ml/kg induk; streeping, induk jantan dan induk betina pada pemijahan ini harus dipisahkan. Setelah (10-12) jam dari penyuntikan, induk betina siap di-streeping.
Berdasarkan hasil penimbangan induk selama praktek, diperoleh data massa induk betina sebesar 13 kg yang berasal dari 12 ekor jumlah induk dengan massa telur sebesar 1 kg. Setelah data massa induk diperoleh, maka diketahui jumlah hormon ovaprim yang dibutuhkan yaitu sebanyak 2,6 ml. Untuk campuran homon ovaprim dan sodium chloride diperlukan dosis sebanyak 0,5 ml/ekor, maka jumlah campuran yang dapat diperoleh adalah 6 ml. Dari perhitungan sebelumnya, maka diketahui jumlah sodium chloride yang digunakan adalah 3,4 ml. Waktu antara penyuntikan dengan ovulasi yaitu (10 – 12) jam tergantung suhu inkubasi induk (suhu selama praktek + 230C). Penyuntikan dilakukan pada malam hari sekitar pukul 20.00 WIB sehingga proses pengeluaran telur (streeping) dapat dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 08.00 WIB hal ini bertujuan agar hasil streeping yang dihasilkan dapat maksimal, karena suhu air pada pagi hari relatif stabil sehingga tingkat stress yang ditimbulkan pada induk relatif kecil dan untuk mempermudah mengamati ovulasi. Penyuntikan dilakukan 1 kali secara intramuskular, yaitu penyuntikan pada bagian otot punggung induk lele sangkuriang.
Streeping dan Pembuahan
Pada selang waktu (10–12) jam setelah penyuntikan dilakukan pemeriksaan terhadap induk betina dan dinyatakan ovulasi. Setelah itu, segera dilakukan penyediaan cairan sperma. Penyediaan cairan sperma dilakukan dengan pengambilan kantong sperma dengan jalan pembenahan. Induk jantan dibedah dengan menggunakan gunting dari arah genital ke arah kepala, kemudian kantong sperma diambil dan dibersihkan dengan menggunakan kertas tissu. Sperma dikeluarkan dengan cara menggunting kantong sperma pada bagian sisinya, lalu diperas dan diencerkan dengan menggunakan larutan Sodium Chloride 0,9%. Perbandingan yang digunakan yaitu 250 ml Sodium Chloride 0,9% untuk sperma yang berasal dari 1 ekor induk jantan.
Setelah larutan sperma siap, dilakukan pengeluaran telur dengan cara pengurutan. Pada bagian kepala dipegang dengan menggunakan kain lap agar tidak licin, kemudian bagian perut diurut dari dada ke arah genital secara perlahan-lahan (Streeping). Telur yang keluar ditampung dalam wadah plastik yang bersih dan kering. Fekunditas telur yang dihasilkan induk lele sangkuriang setelah dilakukan sampling adalah 138 butir dalam 0,22 gram. Setelah dikonfersikan diketahui jumlah telur sebanyak 627.273 butir/kg telur atau sekitar 52.273 butir/ekor induk.
Sperma yang telah tersedia dicampurkan dengan telur dan diaduk menggunakan bulu ayam. Setelah teraduk merata tuangkan air secukupnya kemudian digoyang-goyangkan lagi secara perlahan. Pemberian air diperlukan untuk mengaktifkan sperma karena saat dalam larutan fisiologis sperma belum aktif, membuka mikrofil pada telur ikan, dan untuk membersihkan telur dari sisa-sisa sperma yang tidak aktif/mati.
Menurut Anonimus (2005) ovulasi adalah puncak dari kematangan gonad, dimana telur yang telah masak harus dikeluarkan dengan cara dipijit pada bagian perut (streeping). Induk jantan diambil spermanya melalui pembedahan. Pencampuran telur dan sperma dilakukan dengan menggunakan bulu ayam sampai sperma dan telur tercampur merata. Untuk meningkatkan pembuahan, maka telur dan sperma dapat ditambahkan dengan garam dapur sebanyak 4000 ppm sambil diaduk dan ditambahkan air sedikit demi sedikit. Setelah tercampur kemudian dilakukan pembersihan dengan penggantian air sebanyak (2-3) kali. Telur yang dibuahi akan mengalami pengembangan dengan ukuran telur yang terlihat lebih besar dan berwarna hijau tua, sedangkan telur yang tidak dibuahi berwarna putih.
Penetasan Telur
Penetasan telur dilakukan pada hapa berukuran (2×1x0,2) m3 yang dipasang pada bak fiber persegi panjang berukuran (4×2x0,8) m3 yang sebelumnya telah diisi air setinggi 50 cm. Kemudian hapa diberi pemberat berupa besi behel ukuran 5 mm, berbentuk persegi panjang seperti dasar hapa. Hapa penetasan dialiri air secara terus menerus dengan debit air 40 ml/detik, selain itu juga bak penetasan diberi aerasi sebagai penyuplai oksigen.
Sebelum telur ditebar, terlebih dahulu dilakukan pencucian telur dari sisa sperma, dan diambil beberapa butir telur untuk dijadikan sample penghitungan telur yang tidak dibuahi, telur yang dibuahi tapi rusak, serta daya tetas telur (HR) sebanyak 723 butir dalam wadah sampling yang terpisah. Telur ditebar secara merata di dalam 4 hapa dengan padat tebar sekitar 156.818 butir/hapa dan menetas sekitar (30–36) jam setelah pembuahan pada suhu (23–24)oC.
Selama masa inkubasi, kondisi telur terus diamati. Pengamatan dilakukan untuk melihat telur yang tidak dibuahi, telur yang dibuahi tapi rusak, dan daya tetas telur (HR). Untuk mengetahui kondisi telur yang tidak dibuahi dapat diketahui pada jam ke-8 setelah penebaran telur, kondisi itu dapat diketahui dengan melihat warna telur yang berubah menjadi putih. Sedang untuk mengetahui kondisi telur yang dibuahi tapi kemudian rusak/gagal dapat diketahui setelah telur menetas.
Menurut Susanto (1989), penetasan telur dilakukan di dalam bak fiber yang berukuran (2×1x0,3) m3 dan ketinggian air sekitar (30 – 40) cm. Biasanya telur – telur akan menetas selama (1 – 2) hari setelah pemijahan pada suhu (25-30)0C. Kondisi air yang hangat akan semakin meningkatkan daya tetas telur (>90%). Dari hasil pengamatan sample selama PKL sebanyak 723 butir diketahui telur yang tidak tidak dibuahi sebanyak 6 butir (0,83%), telur yang dibuahi tapi rusak sebanyak 11 butir (1,52%), dan telur yang berhasil menetas sebanyak 706 butir (97,65%). Total keseluruhan telur yang menetas adalah sebanyak 612.532 butir. Dari hasil sample yang ada menunjukkan bahwa, walaupun pada suhu di bawah 250C (23-24)0C jika ditunjang dengan kualitas induk dan telur yang baik maka HR yang dihasilkan dapat maksimal.
Pemeliharaan Larva
Telur lele sangkuriang akan menetas sekitar (30 – 36) jam setelah pembuahan pada suhu (23 – 24)oC. Pemeliharaan larva pasca penetasan telur dilakukan pada hapa penetasan telur yang dialiri air dan dilengkapi dengan aerasi yang tidak terlalu kencang agar larva tidak teraduk. Pemeliharaan larva dalam happa dilakukan selama (4-5) hari tanpa diberi pakan, karena larva pada saat itu masih memanfaatkan kuning telur yang ada dalam tubuh larva itu sendiri.
Memasuki hari ke-5 dan seterusnya kuning telur dalam tubuh larva telah habis, larva selanjutnya dipindahkan ke dalam bak fiber untuk dipelihara lebih lanjut. Pemeliharan larva dalam bak fiber dilakukan sejak ikan memasuki umur 5 hari hingga 21 hari. Larva dipelihara dalam bak fiber berukuran 4 m x 2 m x 0,8 m dan diisi air sebanyak 1/2 dari tinggi bak dengan padat tebar 15.625 ekor/ m3. Jadi jumlah penebaran larva dalam bak fiber sebanyak 100.000 ekor.
Selama dalam pemeliharaan di dalam fiber, larva umur 5 hari diberi pakan cacing sutra (tubifex sp). Sebelum diberikan, cacing sutra tersebut dicincang terlebih dahulu. Hal itu dilakukan karena ukuran bukaan mulut ikan yang masih kecil. Pemberian cacing sutra cincang diberikan hingga larva berumur 12 hari. Jumlah pakan yang diberikan sebanyak 50 gr setiap kali pemberian pakan pada pagi dan sore hari. Setelah ikan berumur lebih dari 12 hari selanjutnya larva ikan diberi pakan cacing sutra utuh dengan jumlah pakan sebanyak 75 gr setiap kali pemberian pakan pada pagi dan sore hari. Pemberian pakan, selama masa pemeliharaan larva lele sangkuriang diberikan pakan alami dan pakan tambahan. Menurut Mujiman (2000), Pemberian pakan alami disesuaikan dengan ukuran benih. Biasanya efektivitas pertumbuhan benih yang memakan plankton alami berkisar (2–3) minggu sejak ditebar ke kolam. Pakan tambahan diberikan dengan dosis 3% – 5% dari bobot populasi ikan dan diberikan dua sampai tiga kali sehari, pemberiannya dimulai sejak hari kedua setelah benih ditebar.
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup larva, maka lingkungan yang baik harus tetap terjaga. Menurut Lukito (2002), dalam kegiatan pengontrolan kualitas air meliputi pergantian air dengan pengaturan volume air dan penyiponan. Pengelolaan kualitas air selama PKL, dilakukan dengan melakukan penyifonan bak pemeliharaan larva setiap pagi hari sebelum pemberian pakan dan penggantian air sebanyak 50%. Penyifonan dilakukan untuk membersihkan sisa-sisa pakan dan kotoran yang terdapat di dasar bak pemeliharaan larva. Sedangkan untuk menambah oksigen terlarut dalam bak pemeliharaan larva, air dalam bak pemeliharaan diberikan aerasi secara terus menerus.
Selama pemeliharaan larva dalam bak fiber tidak memperlihatkan gejala-gejala bahwa ikan terserang hama penyakit. Jika dilihat dari gerakannya yang normal dan nafsu makan yang relatif tinggi menandakan kondisi ikan sehat dan normal. Meskipun kondisi ikan dalam kondisi yang baik, selama dalam pemeliharaan, larva ikan lele sangkuriang tetap diberikan perawatan sebagai upaya pengendalian hama penyakit untuk pencegahan. Menurut Lukito (2004), kegiatan pengendalian hama penyakit meliputi pencegahan dan pengobatan. Tindakan pencegahan yang dilakukan selama PKL yaitu dengan memberikan garam sebanyak 3 kg dalam 3,2 m3 air (1 ppt).
Panen
Larva yang telah berumur 21 hari warna tubuhnya tampak kehitaman dan sudah menyebar dipermukaan air, hal ini menandakan bahwa larva siap dipanen untuk langsung dijual atau ditebar ke kolam pendederan yang sudah disiapkan sebelumnya. Pemanenan larva didahului dengan menutup saluran pemasukan air dan membuka outlet. Kemudian pada pipa outlet dipasang seser halus untuk menampung benih. Menurut Prihartono dkk (2000), larva lele sangkuriang umur satu minggu telah siap untuk dipanen. Selama kegiatan pemanenan perlu adanya perlakuan tertentu karena lele sangkuriang merupakan jenis ikan yang tidak bersisik, tetapi tubuhnya berlendir. Oleh karena tidak bersisik maka tubuhnya sangat mudah mengalami lecet dan luka. Lecet atau luka pada lele sangkuriang dapat disebabkan oleh penggunaan peralatan yang sembarangan, cara panen yang kurang baik dan waktu panen yang kurang tepat.
Hasil sampling bahwa larva lele sangkuriang umur 21 hari kepadatan per mili liternya yaitu 150 ekor atau 15.000 ekor per 100 ml, sedangkan larva yang dipanen sebanyak 5 gelas. Sehingga total larva yang dipanen sebanyak 75.000 ekor (SR 75%). Larva diangkat atau dipindahkan dengan menggunakan beker glass berukuran 100 ml ke dalam baskom penampungan atau langsung dipacking ke dalam kantong plastik berukuran 40 cm x 60 cm dua rangkap dan telah diisi air sebanyak (4 – 6) liter, kemudian diberi oksigen sebanyak 2/3 dan diikat dengan menggunakan karet gelang. Kepadatan larva per kantong tergantung jarak pengangkutan atau permintaan dari pembeli. Tapi biasanya berkisar antara (15.000 – 30.000) ekor larva dalam setiap kantong. Setelah packing, benih siap dikirim ke tempat yang dituju.
KESIMPULAN1. Metode pemijahan yang dilakukan terhadap ikan lele sangkuriang di BBPBAT Sukabumi adalah menggunakan metode pemijahan buatan berupa kawin suntik (induce breeding). Tahapan pelaksanaan kegiatan pemijahan kawin suntik (induce breeding) diantaranya: pemeliharaan induk, pemijahan induk, penetasan telur, pemeliharaan larva, pemanenan dan penanganan larva.
2. Permasalahan yang dihadapi selama pembenihan ikan lele sangkuriang yaitu pada saat pemeliharaan induk. Pada saat pemeliharaan, induk terkena serangan Aeromonas sp. Langkah awal yang diberikan yaitu dengan mengkarantina induk yang terserang penyakit dalam satu kolam serta memberikan antibiotik (merek dagang Oxy san) dengan dosis 15 gr/30 kg pakan dan vitamin C (merek dagang Premium C) dengan dosis 7,5 gr/30 kg pakan pada pakan.
3. Faktor penting dalam kelangsungan budidaya adalah tersedianya benih yang cukup dari segi kualitas dan kuantitasnya. Sedangkan tersedianya benih yang memadai dipengaruhi oleh kualitas induk, keadaan lingkungan yang cocok, pakan yang cukup serta pengelolaan yang baik dan terencana.

1 komentar:

  1. Bagi para pembenih ikan di Jawa Tengah dan sekitarnya yang membutuhkan produk-produk pembenihan ikan seperti ovaprim, artemia dan spirulina bisa menghubungi saya di No HP 08122841280. Yanto di Pemalang, Jawa Tengah.
    Tersedia juga pakan-pakan untuk pembenihan udang al : Spirulina, Artemia, BP, flake. Pakan berbentuk powder/serbuk al : Japonicus, Seagrass Powder, Top Minigrain, Vitamin, EDTA dll. Peralatan hatchery al: Selang aerasi, kran aerasi dan batu aerasi.
    Terima kasih

    BalasHapus